Memahami dengan Mudah Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019
2 min read
News Bekasi Reborn. Co | BEKASI
Praktik pembiayaan berskema jaminan fidusia sudah tidak asing bagi konsumen atau nasabah di Indonesia. Jaminan fidusia sendiri merupakan konsep yang mudah dilaksanakan, di mana suatu benda menjadi jaminan atas utang, tetapi bendanya masih di bawah penguasaan debitur.
kini telah terbit Putusan MK Nomor: 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, yang menginterpretasikan bahwa wanprestasi tidak boleh ditetapkan sepihak oleh kreditur, cidera janji/wanprestasi harus dinyatakan dengan Putusan Pengadilan, Putusan ini juga menetapkan bahwa objek jaminan tidak mudah langsung di eksekusi karena harus diajukan permohonan eksekusi terlebih dahulu ke Pengadilan Negeri, meski didalam Sertifikat Fidusia sudah memiliki irah-irah titel eksekutorial Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersifat eksekutorial memiliki kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi memaknai kembali Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Pasal 15 ayat (1) berbunyi: Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Ayat (2) berbunyi: Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (3) berbunyi: Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Bahwa dalam putusan MK tersebut terdapat 3 (tiga) hal yang mendasar mengenai makna baru atas frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Begitu pula frasa cedera janji sebagai syarat pelaksanaan eksekusi.
Jika dilihat dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta menghapuskan eksekusi sendiri alias tanpa pengadilan yang dipraktikkan sebelum 6 Januari 2020. Namun, Mahkamah Konstitusi menambahkan mekanisme peradilan, sehingga kini terdapat dua prosedur penarikan objek jaminan fidusia berdasarkan alasan cedera janjinya.
Pertama, adanya cedera janji telah disepakati bersama oleh kreditur-debitur. Bila hal ini terjadi, mestinya eksekusi sendiri dapat dilakukan oleh kreditur yang mengandaikan kerelaan debitur menyerahkan objek jaminan fidusia.
Kedua, cedera janji ditentukan oleh upaya hukum karena kreditur-debitur tidak bersepakat. Jika ini terjadi maka kreditor harus mengajukan gugatan cidera janji dan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Lazimnya, sengketa mengenai cedera janji diselesaikan melalui proses peradilan. Bila pihak yang kalah tidak mau menyerahkan objek setelah putusan inkrah, berlaku mekanisme permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri sesuai Pasal 196 Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
Hingga kini belum diatur sampai sejauhmana upaya hukum dapat dilakukan apakah cukup di tingkat Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung, meskipun di Pengadilan Negeri terdapat model berperkara cepat dengan mekanisme Gugatan Sederhana sebagaimana diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, dengan nilai maksimal Gugatan sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan terdapat sita jaminan, bagaimana jika nilai jaminan fidusia melebihi dari nilai Gugatan sederhana tersebut maka berlaku mekanisme gugatan perdata berkaitan dengan Cidera janji/wanprestasi, mengingat hal ini belum diatur diharapkan menjadi percepatan rancangan Undang-Undang tentang Fidusia agar terdapat kepastian hukum bagi semua pihak.
Ditulis oleh:
Ulung Purnama,SH,MH.
Praktisi Hukum & Ketua Forum Advokat Kabupaten Bekasi