Penerapan Hukum Force Majeure (Keadaan Memaksa) Dalam Praktek Persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial
3 min read
News Bekasi Reborn. Co | BEKASI – Beberapa hari lalu penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional. penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional, diakibatkan meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda. Selain itu, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta menimbulkan implikasi aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia. Apalagi, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemic global.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut Pasal 1 butir 25 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diartikan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/ buruh dan pengusaha.
Terkait dengan PHK karena alasan force majeure ini dapat kita temui pengaturannya dalam Pasal 164 ayat (1) UU 13 Tahun 2003 sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya.
Force majeur atau keadaan memaksa memiliki dua sifat, yakni umum dan khusus. Force majeur yang sifatnya umum berkaitan dengan act of god, sementara force majeur yang bersifat khusus berhubungan dengan act of human. Berhubung dalam kasus pandemik corona pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan, maka force majeur konteks corona masuk dalam kategori khusus (act of human).
Dalam praktek Penerapan alasan Force Majeure di persidangan Hubungan Industrial yang didalilkan Pihak Pelaku Usaha dalam pertimbangan hukumnya Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial memberlakukan kebijakan unsur Force majeure atau disebut juga keadaan kahar dalam hubungan industrial dengan sangat limitatif dan selektif guna menghindari penyalahgunaan oleh kalangan pemberi kerja jika Pelaku Usaha tidak dapat membuktikannya maka alasan Force Majeure akan dianggap sebagai melakukan efisiensi yang berakibat pekerja/buruh berhak atas 2 kali ketentuan pasal 156 ayat (2) UU 13 Tahun 2003 sedangkan jika dapat dibuktikan adanya force majeure tersebut mendapat 1 (satu ) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU 13 Tahun 2003.
Sebagaimana Pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara antara. CV Gemilang Arta Prima vs Zaenal Mas, Arifin dan Fariztyo, Majelis berpendapat keadaan atau kondisi dapat dikatakan force majeure telah menggunakan ketentuan hukum perdata, seperti yang diatur dalam Pasal 1244 -1245 KUHPerata adalah apabila suatu keadaan yang menyebabkan suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu hubungan hukum tidak dapat dilaksanakan, antara lain diakibatkan oleh:
Bencana alam (gempa bumi) tanah longsir, banjir); Kebakaran , perang , huru-hara, pemogokan dan epidemi;
Tindakan pemerintah dibidang moneter yang menyebabkan kerugian luar biasa .
Bahwa berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Hubungan Industrial tersebut, yang berpandangan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat/pelaku usaha kepada Penggugat/pekerja bukan karena keadaan memaksa (force Majeure) akan tetapi merupakan pengurangan karyawan atau efisiensi.
Sedangkan dalam perkara lain terdapat Putusan Mahkamah Agung RI No. 409 K/Sip/1983 (dikutip dari buku Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, hal. 114) disebutkan bahwa Force Majeure adalah keadaan memaksa diakibatkan oleh suatu malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus berprestasi.
Sedangkan merujuk terhadap praktik penerapan Force Majeure dalam perkara Hubungan Industrial SANGAT LIMITATIF dan SELEKTIF, dengan ditetapkannya COVID-19 sebagai “Bencana Nasional” tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) karena dalam putusannya pada angka II dibuat Keppres Nomor 7 tahun 2020, Keppres Nomor 9 Tahun 2020, melalui sinergi Kementerian dan Pemerintah Daerah berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk dibeberapa daerah sudah dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Termasuk dalam pertimbangan Keppres 12 Tahun 2020 dalam pertimbangnnya pada huruf b bahwa WHO menyatakan COVID-19 Sebagai Global Pandemik tanggal 11 Maret 2020, hal ini menjadi alasan kuat untuk dijadikan alasan Force Majeure tersebut, meskipun dalam praktik persidangan bisa saja Majelis Hakim punya pandnagan berbedaa berkaitan dengan hal ini.
Atas dasar hal tersebut dimungkinkan bagi pelaku usaha untuk melakukan PHK namun harus dapat membuktikan alasan PHK dengan dasar Force Majeure dipersidangan termasuk kemampuan keuangan pelaku usaha, karena alasan force Majeure dapat diterapkan Sangat Limitatif dan Selektif, dan oleh karena dalam Pasal 164 ayat (1) juga terdapat unsur harus dibuktikan berkaitan dengan adanya perusahaan tutup yang telah ditambahkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Konstitusional Bersyarat menjadi Perusahaan tutup permanen.
Sehingga pembuktian dalam proses persidangan dalam hukum formil menjadi titik penting yang tidak dapat dipisahkan dari hukum materil sendiri dalam Pasal 164 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003.
Demikian tulisan ini disampaikan oleh penulis, sebagai wahana ilmu pengetahuan hukum dan praktik hukum ketenagakerjaan.
Cikarang, 14 April 2020
Hormat kami,
Penulis.
Ulung Purnama,SH,MH.
Praktisi Hukum & Ketua Forum Advokat Kabupaten Bekasi