PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2020 TENTANG STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL SEBAGAI KEBIJAKAN COUNTERCYCLICAL DAMPAK PENYEBARAN CORONA VIRUS DISEASE 2019
7 min read
News Bekasi Reborn. Co | BEKASI – Beberapa hari lalu Menkopolhukam Mahfud MD, meminta agar tidak ada lagi yang salah kaprah dan menganggap bahwa Keppres No 12 Tahun 2020 tentang tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional dijadikan sebagai alasan Force Majeure, yang menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para praktisi hukum dan para pelaku usaha, karena di khawatirkan berdampak kepada kontrak-kontrak bisnis dan dunia usaha, bukan berarti dengan terbitnya Keppres No.12 Tahun 2020 membatalkan kontrak yang sudah dilakukan.
Dikatakan oleh Menkopulhukam pemerintah telah memberikan stimulus kepada perusahaan yang terdampak wabah COVID-19. Mulai dari peringanan cara pembayaran sampai dengan penundaan pembayaran bunga. Dimana campur tangan negara untuk meringankan pelaksanaan kontrak karena kesulitan, karena problem ekonomi yang sekarang terjadi itu, maka itu sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuangan sudah mengatur tentang keringanan cara pembayaran, penundaan pembayaran, penundaan pembayaran bunga dan sebagainya.
Hal ini menjadi menarik ditengah adanya beda pendapat antara Para praktisi hukum dan para pelaku usaha berkaitan dengan diumumkannya Keppres Nomor 12 Tahun 2020 apakah dapat dijadikan dasar sebagai Force majeure dan terkait hal tersebut sempat disinggung adanya upaya pemerintah untuk membantu dunia usaha dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona virus Disease 2019 tanggal 13 Maret 2020, Peraturan OJK tersebut, berupa:
Batasan pelaku usaha yang memiliki perjanjian kredit dengan Bank, Bank Umum Konvensional (“BUK”), Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) , Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan Pembiayaan.;
Didalam penjelasan Peraturan OJK Yang dimaksud dengan debitur yang terkena dampak penyebaran corona virus disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah adalah debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada Bank karena debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) baik secara “langsung ataupun tidak langsung” pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan., terkait oleh karena penafsiran berkaitan dengan Debitur yang mengalami secara langsung dan tidak langsung sangat bersifat subjektif sekali karena disyaratkan selama ini Debitur tidak pernah mengalami kesulitan pembayaran, sedangkan berkaitan jenis usaha yang mendapatkan bantuan stimulus bersifat sangat selektif, seperti memiliki legalitas ataupun badan hukum bagaimana jenis usaha yang tidak memiliki legalitas dan bagaimana sektor-sektor usaha lainnya tidak dibantu oleh pemeintah dalam hal ini tidak masuk dalam aturan yang diterapkan OJK, termasuk perusahan pembiayaan (leasing) tidak diatur secara jelas bagaimana perlindungan terhadap debitor yang mengalami kesulitan keuangan;
Restrukturisasi kredit atau pembiayaan dapat dilakukan terhadap seluruh kredit atau pembiayaan yang diberikan kepada debitur yang terkena dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah tanpa batasan ;
Debitur yang termasuk dalam sektor ekonomi pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan, namun tidak terkena dampak dari COVID-19 terhadap hal ini Perlakuan khusus dalam POJK ini tidak dapat diterapkan Bank kepada debitur tersebut;
Perlakuan khusus dalam POJK ini dapat diterapkan Bank kepada debitur tersebut, sepanjang berdasarkan self-assessment Bank debitur dimaksud terkena dampak COVID-19, Bank harus memiliki pedoman yang paling sedikit menjelaskan kriteria debitur yang ditetapkan terkena dampak COVID-19 serta sektor yang terdampak.
Kualitas kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi dapat ditetapkan lancar apabila diberikan kepada debitur yang terkena dampak penyebaran COVID-19 dan restrukturisasi dilakukan setelah debitur terkena dampak penyebaran COVID-19. Restrukturisasi kredit/pembiayaan dilakukan sesuai peraturan OJK mengenai penilaian kualitas aset, memberikan relaksasi antara lain dengan cara:
a.penurunan suku bunga;
b. perpanjangan jangka waktu;
c. pengurangan tunggakan pokok;
d. pengurangan tunggakan bunga;
e. penambahan fasilitas kredit/pembiayaan; dan/atau
f. konversi kredit/pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Bank dapat melakukan restrukturisasi untuk seluruh kredit/pembiayaan kepada seluruh debitur, termasuk debitur UMKM, sepanjang debitur terdampak COVID-19. Pemberian perlakuan khusus tanpa melihat batasan plafon kredit/pembiayaan.
8. Bank dapat menetapkan kualitas kredit/pembiayaan tersebut menjadi lancar dan pada periode pelaporan akhir bulan Maret 2020 dilaporkan lancar, dalam kondisi di atas, Bank dapat menetapkan kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi tersebut menjadi kualitas lancar dan pada saat pelaporan akhir bulan Maret 2020 dilaporkan lancar.
Penetapan kualitas kredit/pembiayaan yang telah direstrukturisasi sebelum debitur terkena dampak COVID-19 dimaksud tetap mengacu pada peraturan OJK mengenai penilaian kualitas aset. Bank dapat menetapkan kualitas lancar sebagaimana POJK ini dalam hal dilakukan direstrukturisasi kembali untuk kredit/pembiayaan dimaksud.
Beberapa fasilitas, bagaimana penetapan kualitas kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi untuk debitur Kualitas seluruh kredit/pembiayaan debitur terkena dampak COVID-19 yang
direstrukturisasi dengan menggunakan POJK ini dapat ditetapkan lancar.
Dalam hal terhadap ketiga fasilitas kredit/pembiayaan tersebut dilakukan restrukturisasi dengan menggunakan POJK ini, maka Bank dapat menetapkan kualitas lancar untuk seluruh fasilitaskredit/pembiayaan Debitur C (termasuk Fasilitas Kredit 3 yang cashflow-nya tidak terganggu) sejak dilakukan restrukturisas i.
Namun jika terhadap fasilitas kredit/pembiayaan 3 (yang cashflow-nya tidak terganggu) tidak dilakukan restrukturisasi menggunakan POJK ini dan kualitasnya selain lancar, maka tidak dapat langsung ditetapkan berkualitas lancar. Penetapan kualitas fasilitas kredit/pembiayaan 3 tersebut selanjutnya dapat tetap mengacu pada peraturan OJK mengenai penilaian kualitas aset (berdasarkan 3 pilar) atau POJK ini (berdasarkan ketepatan membayar).
Penetapan kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain yang baru kepada debitur terkena dampak COVID-19 dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain yang telah diberikan kepada debitur sebelum terkena dampak COVID-19, baik untuk penetapan kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain (lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, atau macet) maupun perhitungan plafon. Dengan demikian, untuk kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain yang baru diberikan setelah debitur terkena dampak COVID-19, kualitas dapat hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran untuk plafon paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) yang hanya dihitung atas kredit/pembiayaan/ penyediaan dana lain yang baru (terpisah dari plafon fasilitas existing).
Peraturan OJK menekankan kepada seluruh bank dan/atau Perusaan Pembiayaan agar dalam pemberian kebijakan relaksasi kredit ini dilakukan secara bertanggungjawab dan agar tidak terjadi pemberian relaksasi kredit yang tidak bertanggungjawab (fraud) antara lain memberikan stimulus kepada nasabah yang sebelum terjadi wabah Covid-19.
Dengan Pembatasan sektor dan teknis pelaksanaan yang diserahkan kepada bank atau lembaga pembiayaan (multifinance) dikhawatirkan yang menimbulkan permasalahan tersendiri bagi bank dan multifinance untuk mengimplementasikan aturan tersebut. Misalnya, untuk UMKM, penilaian kualitas aset yang tertuang dalam POJK Nomor 11 Tahun 2020 perlu diperinci dan disampaikan ketentuan lanjutannya. Begitu pula relaksasi angsuran motor dan mobil bagi transportasi online, bagaimana mekanismenya.
Perlu dicatat, perlakukan khusus Peraturan OJK tersebut tidak dapat diterapkan bank kepada debitur yang tidak terkena dampak Covid-19, meskipun termasuk dalam kedalam 7 (Tujuh) Sektor UMKM juga mendapatkan relaksasi berupa stimulus tersebut, dengan catatan terdampak virus corona.
Pelaksanaan teknis eksekusi ketentuan restrukturisasi kredit UMKM, termasuk kredit kepada pekerja berpenghasilan harian, pekerja informal, ojek online, nelayan, dan lainnya akan dilakukan sesuai dengan assesmen oleh bank dan perusahaan pembiayaan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyatakan restrukturisasi ini perlu dilakukan dengan penuh tanggungjawab, memperhatikan prinsip kehati-hatian dan mekanisme pemantauan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan restrukturisasi kredit atau pembiayaan.
Berkaitan dengan perbedaan pendapat penafsiran Keppres 12 Tahun 2020 untuk kontrak bisnis dalam 7 (Tujuh) bidang yang diatur dalam Peraturan OJK hanya berkaitan dengan Bank dan Perusahaan Pembiayaan saja, sedangkan jika kontrak tersebut dibuat antara Para Pihak diluar Bank dan Perusahaan Pembiayaan meskipun masuk kedalam 7 (Tujuh) bidang yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 maka Kontrak tersebut diluar peraturan OJK, sehingga berpotensi sengketa hukum terhadap para pelaku usaha akibat adanya penafsiran hukum terbitnya Keppres 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional, karena pada umumnya merujuk kontrak bisnis kepada Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata, termasuk Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata, dengan demikian Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 tidak dapat melakukan restrukturisasi untuk seluruh jenis usaha dan pelaku usaha.
Atas dasar tersebut maka kami membuat Catatan kritis Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020, agar Peraturan OJK tersebut dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pada umumnya, terutama meringankan beban debitur namun tidak merugikan kreditur, sehingga tercipta kesimbangan hukum dan keadilan, untuk itu penulis berpendapat dengan membuat masukan sebagai catatan kritis terhadap Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020, agar dapat membantu pelaku usaha menghadapi dampak Covid-19, seperti:
Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 menyerahkan sepenuhnnya penafsiran berdampak secara “langsung dan tidak langsung” kepada Bank dan Perusahaan Pembiayan, dimana hal ini tentu saja sangat subjektif, dimana penafsiran berdampak jika diajukan permohonan oleh perorangan diterjemahkan kepada korban/pasien yang menderita Covid-19, sehingga hal ini tidak banyak membantu masyarakat yang mengalami dampak sebagaimana bunyi stimulus itu sendiri khususnya dalam sektor di riil di masyarakat.
Peraturan OJK Nomor 11 tahun 2020 hanya berlaku untuk 7 (Tujuh) Jenis usaha (Pariwisata, Transportasi, Perhotelan, Perdagangan, Pengolahan, Pertanian dan Pertambangan.) sehingga bidang usaha lain tidak mendapatkan bantuan stimulus seperti: Koperasi, Yayasan, Unit dagang, Perusahaan Dagang, dan selain itu bidang usaha informal yang tidak tersentuh oleh stimulus ini.
Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 hanya dapat digunakan jika debitor mengajukan permohonan kepada Bank atau Perusahan Pembiayaan, padahal tidak semua debitor mengetahui dan dapat mengajukan permohonan, sehingga maksud dikeluarkan stimulus ini tidak maksimal menyentuh debitor di 7 (Tujuh) sektor tersebut;
Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 telah membatasi sejak awal dengan tidak memberikan peluang kesempatan bagi Debitur yang selama ini memiliki pembayaran yang kurang lancar, padahal justru kesulitan berdampak bagi semua orang bukan hanya bagi debitur yang selama ini lancar, setidaknya memberikan kesempatan untuk mendapatkan relaksasi pembayaran hutangnya;
Peraturan OJK mengatur Bank dan Perusahan Pembiayan sebagai lembaga pemutus terhadap permohonan debitor untuk mendapatkan relaksasi kredit seharusnya dibentuk lembaga adjudikasi oleh OJK supaya indepensi penilaian permohonan secara objektif apalagi stimulus ini dibentuk hanya dalam jangka waktu satu tahun sampai dengan tanggal 31 Maret 2021;
Meskipun sudah ada stimulan ini, terkait sektor riil khususnya untuk masyarakat kecil masih belum banyak terbantu, karena ketatnya proses pengajuan dan permohonan relaksasi yang dijadikan syarat untuk debitor dan terdapat sektor lain yang tidak mendapatkan bantuan stimulus ;.
Demikian Catatan kritis penulis sebagai wahana ilmu pengetahuan hukum, semoga kita cepat terbebas dari situasi dan ancaman Covid-19.
Cikarang, April 2020
Penulis.
Ulung Purnama, SH, MH.
Praktisi Hukum dan Ketua Forum Advokat Kabupaten Bekasi