News Bekasi Reborn. co.id

Aktual, Tajam & Terpercaya

Opini Hukum: Alasan PHK Karena Perusahaan Mengalami Kondisi Keadaan Memaksa (Force Majeure) Akibat Dampak Covid-19 Termasuk Dalam Pasal 164 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

6 min read
News Bekasi Reborn. co.id Opini Hukum: Alasan PHK Karena Perusahaan Mengalami Kondisi Keadaan Memaksa (Force Majeure) Akibat Dampak Covid-19 Termasuk Dalam Pasal 164 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

News Bekasi Reborn. Co | BEKASI – Dengan masih merebaknya pandemi Covid-19 memaksa setiap orang dan badan hukum harus mengikuti himbauan pemerintah untuk memutus rantai Covid -19 di Indonesia, sehingga diberlakukan upaya-upaya pembatasan dengan sosial distancing dan terakhir dengan melakukan PSBB, dimana dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memaksa perusahaan meliburkan pekerjanya dan di sisi lain berbagai sektor Industri dan kebutuhan menjadi mahal sehingga mengakibatkan kesulitan baik dalam berusaha maupun berinteraksi antar pelaku usaha.

Kondisi yang berkepanjangan seperti ini memicu gelombang jutaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja disetiap sektor usaha dan jasa, meskipun Pemerintah tidak tinggal diam berbagai upaya dilakukan pemerintah termasuk upaya Menteri Tenaga Kerja membuat Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tentang Perlindungan Buruh dan Kelangsungan Usaha Terkait COVID-19. Agar menghindari PHK massal tersebut, pemerintah telah menyiapkan berbagai program penanggulangan dampak tersebut termasuk jika mengalami PHK.
Sebelum Perusahaan yang merasakan dampak penyebaran Covid-19 memutusakan dengan PHK perlu kiranya Perusahaan melakukan mitigasi kerugian. Pemutusan Hubungan Kerja bisa jadi satu pilihan terakhir yang dipilih oleh pelaku usaha untuk menekan pengeluaran perusahaan agar perusahaan dapat kembali stabil. Namun, apakah melakukan PHK oleh perusahan dapat dibenarkan dalam keadaan seperti ini?
Karena Tidak dimungkinkan sertamerta perusahaan dapat melakukan PHK, diharapkan PHK hanya menjadi pintu terakhir jika tidak ditemukan cara menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara Pekerja dan Pengusaha, jika perusahaan karena mengalami kerugian atau force majeur atau untuk efisiensi yang diakibatkan karena terjadinya pandemi yang dapat merugikan perusahaan. maka PHK harus dilakukan merupakan upaya terakhir karena perusahaan benar-benar sudah tidak memiliki kemampuan dalam menjalankan usahanya, kondisi memaksa (force Majeure) ini, merujuk kepada Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur PHK dapat dilakukan jika perusahaan yang mengalami kerugian, force majeur atau untuk efisiensi. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagaimana berikut:
Pasal 164
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat(4).

Dalam tulisan ini Penulis menitik beratkan alasan PHK karen keadaan memaksa (force majeure) perlu kiranya kita pahami apa yang disebut keadaan memaksa (force majeure) tersebut terjadi, Force majeure adalah kejadian atau keadaan yang terjadi diluar kuasa dari para pihak yang bersangkutan, dalam hal ini perusahaan dan pekerja/buruh. Istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk force majeur adalah keadaan memaksa.

Namun UU 13 Tahun 2003 tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian keadaan memaksa. Sepanjang yang kami ketahui, force majeure biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya. Tindakan pemerintah, termasuk juga perubahan regulasi, yang pada dasarnya diluar kuasa para pihak, sudah menjadi anggapan umum merupakan bagian dari resiko berusaha. Sebaiknya (dan seringkali juga) hal itu diatur secara tegas oleh para pihak (pihak perusahaan dan tenaga kerja/buruh) dalam perjanjian, termasuk mekanisme penggantian kerugian atau tambahan beban kewajiban yang timbul. Dasar pengaturan demikian tunduk pada kebebasan berkontrak (ps.1320 KUH Perdata).

Sedangkan akibat dari kejadian yang sepertinya diluar kuasa manusia sehubungan dengan kegiatan ekonomi, misalnya krisis ekonomi Indonesia selama ini, yang mana ternyata menimbulkan efek yang berbeda pada pelaku ekonomi, maksudnya ada yang merugi dan memperoleh keuntungan, biasanya bukan dasar alasan yang kuat sebagai force majeure. Dalam hal demikian, bagi pelaku yang merugi dapat meminta penyelesaian melalui mekanisme bi-partit dengan pihak terkait, atau bahkan meminta intervensi pemerintah, untuk keringan/ bantuan sehubungan dengan kerugiannya/ tambahan beban kewajiban yang ditanggungnya.

Mengenai PHK karena force majeure, Undang-Undang Ketenagkerjaan menetapkan bahwa pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 (4). Berkaitan dengan pernyataan keadaan memaksa (force majeure) tidak diatur secara detail siapa/lembaga mana yang dapat menyatakan sebagai disebut keadaan memaksa (force majeure) tersebut, setiap pihak dapat saja menafsirkan keadaan memaksa secara berbeda, apabila terjadi perbedaan penafsiran ini menimbulkan konsekuensi hukum berbeda, antara uang pesangon 1(satu) kali atau 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 (2), meskipun Mahkamah Konstitusi sudah mengatur tentang Penutupan Perusahan dalam putusan MK No.19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. menerangkan ketentuan ini membolehkan pengusaha untuk melakukan PHK karena perusahaan melakukan efisiensi. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara jelas frasa perusahaan tutup.

Akibatnya, norma ini dapat dijadikan dasar perusahaan untuk melakukan PHK, meskipun hanya penutupan perusahaan sementara yang merupakan bagian dari efisiensi dan bisa dijadikan alasan melakukan PHK diperbolehkan dengan alasan efisiensi itu konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu jika PHK dengan alasan efisiensi ini dilakukan perusahaan dan perusahaan harus memenuhi kewajiban membayar 2(dua) kali pesangon.
Dengan adanya Surat Edaraan Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tentang Perlindungan Buruh dan Kelangsungan Usaha Terkait COVID-19 tanggal 6 April 2020 yang mempertimbangkan dan merujuk kepada meningkatnya penyebaran Corona Virus Disease 2019 COVID-19 di beberapa wilayah Indonesia termasuk memperhatikan pernyataan resmi WHO yang menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global, dengan adanya Surat Edaran Menaker ini menjadi rujukan ataupun dasar penafsiran keadaan memaksa (force majeure) oleh perusahaan sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan.

Berkaitan dengan siapakah yang berhak mendapatkan pesangon perlu kiranya diperhatikan berupa Status Pekerja dan Kompensasi yang diberikan, dalam keadaan memaksa (force majeure) akan memiliki kondisi yang berbeda antara perusahaan satu dengan lainnya dengan tetap mengedepankan asas kesepakatan antara pekerja dan perusahan.
Status pekerja baik Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah hal pertama yang harus diperhatikan jika Perusahaan akan melakukan PHK.
Jika Perusahaan memutus hubungan kerja pekerja yang berstatus PKWT sebelum masa kerja berakhir maka Perusahaan wajib membayar ganti rugi kepada pihak pekerja sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Jika perusahaan melakukan PHK kepada Pekerja yang berstatus PKWTT maka Perusahaan wajib membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
Dan jika tercapai kesepakatan antara Perusahaan dengan Pekerja/Serikat Pekerja maka diperlukan mendaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial mengingat kesepakatan antara perusahan bisa berbeda sesuai kemampuan sesuai dengan perhitungan UU Ketenagakerjaan, termasuk jika perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan pekerja/serikat pekerja masih ingin tetap bertahan kerja maka kesepakatan para pihak menjadi jalan tengah untuk melanjutkan perusahaan dengan tetap melanjutkan pekerjaan ataupun masih tetap berstatus karyawan, meskipun akhirnya hak pengupahan untuk pekerja tidak seperti ketentuan UU 13 Tahun 2003 dimungkinkan dengan kesepakatan para pihak saat kondisi memaksa (force majeure) mendapatkan pengecualian, sebagaimana dimaksud Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran dan cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. agar keberlangsungan usaha terus berlangsung dan menghindari adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Diharapkan dengan adanya kesepakatan besaran dan cara pembayaran upah pekerja/buruh oleh pengusaha agar menjadi model pengurangan PHK tersebut, meskipun untuk melakukan penerapan hal ini harus dilakukan secara ketat karena tidak semua perusahan terdampak Covid -19 berniat melakukan PHK karena force majeure tersebut, namun diharapkan bagi perusahaan tetap menjalankan ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Demikian opini hukum ini disampaikan penulis, semoga menambah wahana ilmu pengetahuan dibidang ketenagakerjaan.

Cikarang, April 2020
Penulis,

Ulung Purnama, SH, MH.
Praktisi Hukum dan Ketua Forum Advokat Kabupaten Bekasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 3 =